Bagooli.com – JAKARTA – Badan Aspek Kesehatan Planet (WHO) menyatakan Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular mematikan nomor satu ketika ini. Sementara itu, Kementerian Kesejahteraan RI mencatatkan terjadi tren peningkatan persoalan hukum TBC pada Indonesia pada 2023, yakni mencapai 1.060.000.

Menurut Dokter Spesialis Paru RSPI Bintaro Dr. dr. Raden Rara Diah Handayani, Sphi.P(K), seseorang dengan kekebalan tubuh yang tersebut rendah akan lebih tinggi mudah menjadi sakit. Begitu pula anak di area bawah 5 tahun, dapat mengalami sakit TB yang digunakan berat.

“Pada orang dengan kekebalan tubuh yang digunakan baik perlu diadakan pencegahan agar bukan terjadi reaktivasi menjadi sakit TBC. Beberapa penelitian di area Indonesia menunjukkan 30%-50% orang yang mana kontak serumah dengan pasien TBC telah lama mengalami infeksi TBC laten juga diprediksi 10%-15% akan menjadi sakit TBC atau TB aktif, khususnya bila mengalami penurunan imun seperti yang tersebut terjadi pada penderita HIV yang digunakan tidaklah diobati, DM dengan gula darah bukan terkendali, gizi buruk, kemudian perokok dan juga pengguna alkohol,” papar dr. Raden Rara Diah Handayani di acara diskusi dalam Ibukota Indonesia belum lama ini.

WHO merekomendasikan pada kontak serumah yang telah lama terinfeksi atau infeksi TB laten untuk diberikan Terapi Pencegahan TB (TPT) sebagai beberapa obat seperti rifampentin juga isoniazid selama 3 bulan (disebut 3HP) atau 1 bulan penuh (1HP), atau INH 6 bulan atau 3 bulan INH rifampisin (3 HR).

“Selain pencegahan dengan TPT dan juga vaksinasi, hal yang menjadi penting adalah menjaga kemampuan fisik secara bergerak dengan memenuhi keinginan gizi yang baik, menghentikan kebiasaan merokok, istirahat cukup dan juga mengontrol penyakit komorbid teristimewa DM serta HIV dengan penyembuhan yang dimaksud adekuat, juga olahraga rutin,” saran dr. Raden Rara Diah Handayanik.

Bagi pasien yang tersebut terdiagnosis TB, biasanya dokter akan memberikan obat pada dua tahap yakni insentif serta lanjutan selama 6 bulan, terdiri dari 2 bulan rifampisin, isoniazid, etambutol, juga pirazinamid, lalu dilanjutkan 4 bulan rifampisin dan juga pirazinamid (2RHZE/4RH).

Pada panduan terapi TB ada beberapa hal yang dimaksud juga penting seperti menjaga kemampuan fisik tubuh dengan nutrisi yang dimaksud cukup baik. Adapun pemberian obat-obatan imun harus dalam bawah pengawasan dokter yang mana merawat akibat dipengaruhi kondisi pasien.

Terkait pemberian obat-obatan imun atau imunomodulator, Farmakolog Molekuler Prof. Raymond Tjandrawinata memaparkan hasil uji klinik imunomodulator terhadap pasien TB paru. Uji klinik imunomodulator dari tumbuhan meniran hijau (Phyllanthus niruri) terhadap penderita TB paru telah lama diadakan oleh beberapa ahli. Parameter efikasi dilihat dari perbaikan klinik (konversi sputum BTA) juga perbaikan radiologik (foto toraks).

Imunomodulator yang telah lama teruji klinis adalah Stimuno yang tersebut dikembangkan secara modern dari tumbuhan meniran hijau (Phyllanthus niruri). Selain teruji klinis, imunomodulator yang disebutkan juga telah dilakukan masuk Formularium Fitofarmaka yang tersebut dirilis oleh Kementerian Kesehatan.

Uji klinik Stimuno terhadap penderita TB paru telah lama diadakan oleh beberapa ahli. Mereka melakukan uji klinik dengan parameter efikasi yang mana dilihat dari perbaikan klinik (konversi sputum BTA) juga perbaikan radiologik (foto toraks). Hasil studi klinik oleh Amin dkk dilaksanakan selama enam bulan terapi obat, yakni antara kelompok kontrol yang mana mendapat terapi obat standar TB (rifampisin, INH, ethambutol, pyrazinamid) serta kelompok uji yang tersebut mendapat terapi obat standar TB ditambah Stimuno yang digunakan dikonsumsi sehari tiga kali.

Almahdi Sharique

View all posts

Add comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

About Us